Vonis mati yang 
berlaku di Indonesia, memang masih menjadi polemik sampai saat ini. 
Indonesia, sebagai negara yang masih mengakuinya keberadaan pidana mati 
(berdasarkan KUHP yang berlaku saat ini, bahkan di Rancangan KUHP baru, 
pidana mati tetap disediakan), namun di sisi lain Indonesia juga 
merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM yang berlaku 
secara universal. Jika diperdebatkan, Indonesia sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) Pasal 6 ayat 1, melalui Undang-Undang No.12 tahun 2005 yang menyatakan bahwa “every human being has the right to life”, tetapi di dalam Pasal 6 (1) ICCPR,  pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”.
 Jadi walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan, bahwa “setiap manusia 
mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tidak berarti hak hidupnya itu tidak 
dapat dirampas. Yang tidak boleh adalah perampasan hidup seseorang 
secara sewenang-wenang (arbitrarily deprived of his life). Bahkan dalam Pasal 6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “the most serious crimes”.
Kata “dianulir”, dalam KBBI adalah “tidak 
berlaku/membatalkan”. Sedangkan dalam kasus yang terjadi saat ini, 
seperti kasus narkotika Deni Setia Maharwa, Presiden memberikan Grasi 
(ampunan) dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung 
(berdasarkan Pasal 14 UUD 1945). Tidaklah salah ketika Presiden 
memberikan grasi kepada terpidana, dimana kita juga harus mengetahui 
proses serta langkah-langkah yang telah ditempuh oleh keluarga maupun 
kuasa hukum terpidana sejak PN menjatuhkan hukuman mati pada tahun 2001.
Sebagai pihak yang tidak setuju adanya 
hukuman mati, maka pemberian grasi  merupakan cerminan Indonesia 
menerapkan prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara universal. Para alim 
ulama menyebutkan mati adalah hak Tuhan untuk mencabutnya dari manusia. 
Di Konstitusi tidak tertulis soal hukuman mati, tetapi prinsip HAM 
berlaku di dunia, dengan mengakui hukuman mati itu melanggar hak hidup 
utama yang berlaku mutlak.
Namun, sebagai pihak yang setuju dengan 
adanya hukuman mati, memiliki pemikiran yang berseberangan terhadap yang
 tidak setuju. Hakim Asep Iriawan (hakim yang memvonis mati terpidana 
gembong narkoba sindikat internasional) menuturkan, narkoba merupakan 
suatu kejahatan yang pantas diganjar hukuman mati, karena kejahatan 
narkoba tidak memandang siapa korbannya. Oleh karena itu, hukuman yang 
paling berat, yaitu hukuman mati, sangat diperlukan guna menimbulkan 
efek jera. Kendati cukup banyak vonis mati yang dianulir oleh Presiden 
dan MA, hal tersebut tidak akan membuat para hakim PN menjadi kendur 
komitmennya dalam memberantas narkoba. Bahkan Hakim Asep Iriawan 
menegaskan: “Hakim di Pengadilan Negeri tetap konsisten, sekali mati 
tetap mati!”.
Indonesia memang masih tetap mengakui keberadaan pidana mati, bahkan di dalam Rancangan KUHP baru juga tetap dicantumkan, yang menunjukkan bahwa kita masih membutuhkan pidana mati sebagai salah satu alternatif pidana yang dapat
 diberikan. Namun, yang perlu untuk dimaksimalkan dalam tujuan 
pemidanaan yang dilakukan di Indonesia adalah, apakah hukuman mati 
efektif untuk kita lakukan?








0 komentar:
Posting Komentar